Puasa Ramadhan, Semoga Bukan Sebatas Ritual

Ada buku menarik yang dapat menjadi sedikit bahan renungan bagi masyarakat Indonesia tentang Ramadhan, ditulis oleh seorang sarjana dari Swedia, Andre Moller. Buku ini berjudul “Ramadhan di Jawa; Pandangan dari Luar”, hasil terjemahan tesis S3-nya yang berjudul “Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting”. Terlepas dari beberapa kekurangan Moller atas pemahaman Islam dan Jawa, Moller menulis dengan sangat bagus tentang fenomena Ramadhan di Indonesia, terutama dalam masyarakat Jawa.

Moller yang notabene adalah orang Barat yang jauh dari budaya keislaman mampu memahami dengan baik tentang bulan puasa yang di dalamnya mewajibkan umat Islam untuk berpuasa sebulan penuh. Dia memahami betul apa itu bulan puasa dan segala ritual yang dilakukan umat Islam, tentang takwa yang menjadi tujuan orang berpuasa, tentang perintah Allah SWT dan Rasul Muhammad Saw yang berkaitan dengan Ramadhan, dan yang paling menarik, dia menuliskan puasa Ramadhan dalam kaitannya dengan dimensi pembangunan moral umat Islam.

Puasa Ramadhan yang dijalani umat Islam memiliki karakteristik yang sangat lain dan berbeda dari puasa-puasa yang dilakukan umat agama lain. Puasa Ramadhan memiliki arti yang sangat dalam, yang seharusnya bukan hanya sebuah ritual rutin tanpa penghayatan dan tanpa roh spiritual masyarakat yang menjalaninya.

Ada fenomena bahwa bulan puasa diisi dengan sekumpulan ritual yang mau diakui atau tidak hanya bersifat formalitas, mumpung bulan Ramadhan, disebabkan karena makna puasa hanya dilihat sebagai hal absurd dan tidak dipahami serta dihayati oleh para pelakunya. Ketika makna puasa tidak dihayati dengan seksama, maka terjadi apa yang namanya ritual tanpa mengandung muatan moral dan spiritual sama sekali. Berbuat baik, namun jauh dari nilai yang diharapkan. Menunaikan ibadah, namun tidak menyentuh hati. Maka, banyak ritual-ritual yang sebenarnya tidak penting dilakukan, yang kurang mendukung esensi dari bulan Ramadhan itu sendiri, namun karena sudah dilakukan menjadi tradisi atau budaya, atau minimal sebagai sebuah kebiasaan, banyak dilakukan (Semoga kita tidak berada dalam kelompok ini).

Ada banyak orang ketika sebelum puasa tiba menjalani kebiasaan yang disebut sebagai padusan. Di lain tempat, banyak orang berkunjung ke makam-makam dan melakukan tradisi nyadran. Apa mandi besar sebelum Ramadhan dan ziarah kubur sebelum Ramadhan dilarang? Tentu tidak. Namun ketika niatan awal sudah berbeda orientasi, bahkan dengan cara dan maksud yang salah pula, maka hal itu tentu sama sekali tidak dibenarkan dalam agama.

Lihatlah tradisi padusan di tempat pemandian di daerah Boyolali. Disana, orang akan mandi ramai-ramai dalam kolam renang campur putra dan putri, dan  di seberang ditampilkan ndangndutan yang menampilkan artis dan penyanyi dengan pakaian minim, kalau tidak mau dikatakan seronok, dan semua yang ada di situ berjoget ria. Apa itu ritual mendukung Ramadhan?

Bagi ibu-ibu, biasanya mengeluarkan uang lebih banyak untuk menyiapkan buka puasa. Bagi para pemuda dan anak-anak biasanya melakukan kebiasaan jalan-jalan usai kultum Subuh. Ada lagi kebiasaan ngabuburit atau menunggu buka buasa di ruang-ruang publik seperti di taman kota, di tepi bandara sambil menonton pesawat landing  dan take off. Dan Sebagainya.

Hal-hal tersebut harus diperhatikan. Jika tidak hati-hati, bisa-bisa dapat menjadi bumerang yang menimbulkan perbuatan maksiat bagi para pelakunya. Seorang ustadz bercerita bahwa dia pernah memergoki para pemuda yang baru mengikuti kultum Subuh tidak langsung pulang ke rumah, namun bercanda dengan berlebihan tanpa memperhatikan etika dan norma agama. Mereka bercanda ria dan saling memukul dengan genitnya. Di dalam masjid pula. Fenomena itu memunculkan sebuah pameo “Asmara Subuh: Kesucian yang Ternoda”.

Di sisi lain, anak-anak seusai mengikuti kultum dan jalan-jalan di pagi hari, biasanya mereka membawa petasan. Itu adalah tanda ketika ritual puasa yang sebenarnya mulia, namun terpeleset karena pelakunya tidak mampu memanfaatkan dengan baik. Dua hal tersebut baru contoh kasus, dan mungkin ada banyak lagi penyimpangan di bulan Ramadhan.

Hanya Sebatas Formalitas

Seringkali ada banyak kebiasaan dalam komunitas kita ketika Ramadhan begitu banyak orang yang begitu memformalitaskan puasa sebagai aturan yang berlaku dalam tempo waktu singkat saja. Seringkali terdengar perkataan, ”baru puasa, jangan mabuk-mabukan. Ntar aja kalau udah selesai, kita mabuk lagi.” Atau, ”Hei, jangan bohong baru puasa…” Atau, ”Baru bulan puasa jangan misuh, ah.” Dan sebagainya. Seakan-akan aturan larangan berbuat tidak terpuji hanya ada di bulan Ramadhan.

Atau, jangan heran jika banyak orang yang tidak berpuasa pun pada malam harinya ikut shalat Tarawih di masjid. Atau orang yang di bulan-bulan lain tidak shalat mereka ikut shalat Tarawih di masjid. Dan yang paling banyak terjadi lagi adalah orang yang tidak shalat, tidak berpuasa, namun ikut shalat Iedul Fithri di lapangan ketika Hari Raya.

Tentu tidak bermaksud menyalahkan orang yang melakukan hal itu, melainkan hanya sebuah refleksi tentang apa yang terjadi untuk selanjutnya diambil pelajaran. Hal-hal tersebut adalah merupakan tanda ketika ritual bulan Ramadhan hanya menjadi sebatas formalitas dan belum membawa roh puasa untuk memperbaiki diri dan memperoleh ketakwaan kepada Allah SWT.

Buku yang ditulis Moller tersebut adalah otokritik bagi kita. Orang luar saja tahu apa, mengapa, dan bagaimana bulan Ramadhan harus ditunaikan, apalagi bagi orang Islam sendiri. Terlebih hidup di negara seperti Indonesia ketika agama Islam mendapat legitimasi yang luar biasa dibanding dengan agama lain (setiap awal dan akhir Ramadhan ada libur dan cuti bersama nasional, ada liburan nasional untuk Iedul fithri, ada pengurangan jam bagi sekolah di seluruh Indonesia demi menghormati Ramadhan, dan segudang penghormatan lainnya) adalah lebih dari cukup bagi kita untuk berkonsentrasi mencari tujuan takwa di bulan Ramadhan.

Kita semua menginginkan bahwa setelah keluar dari bulan Ramadhan muncul jiwa-jiwa baru yang selalu dapat meningkatkan kebaikan hidup, menjadi orang yang lebih bertakwa. Meskipun memang tidak dapat dipungkiri bahwa amalan di bulan Ramadhan kuantitasnya selalu lebih besar dibanding bulan lainnya, namun grafik amalan harus naik setiap tahunnya. Karena semua itu butuh proses yang tidak semerta-merta didapat dalam waktu yang singkat.

Semoga kita mendapatkan tujuan dan esensi dari bulan Ramadhan, dengan meluruskan niat dan mempelajari segala hal yang berkaitan dengan bulan Ramadhan, yang telah disampaikan Allah SWT dan Rasul-NYA. Semoga kita tidak hanya mendapatkan lapar dan haus, tanpa mendapat buah dari puasa itu sendiri. [hs]

*RESPON edisi 254/xxv 20 Juli – 20 Agustus 2011.

, ,

  1. Tinggalkan komentar

Tinggalkan komentar